Komitmen Indonesia dalam Melindungi Keanekaragaman Hayati Melalui IBSAP di Tengah Perubahan Iklim Global

https://www.antaranews.com/
Beraspirasi – Pemerintah Indonesia melalui Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan/IBSAP) menegaskan komitmennya untuk melindungi keanekaragaman hayati negara ini dari ancaman kepunahan, yang salah satunya disebabkan oleh perubahan iklim global yang semakin intens. Kebijakan ini dirancang untuk mengatasi tantangan besar dalam mempertahankan keberlanjutan alam Indonesia, dengan menargetkan periode implementasi dari tahun 2025 hingga 2045.
Badi’ah, Kepala Sub-Direktorat Pengawetan Spesies dan Genetik dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), menjelaskan bahwa kebijakan IBSAP ini memiliki pendekatan yang lebih spesifik dan terintegrasi. Upaya tersebut tidak hanya berfokus pada perlambatan laju perubahan iklim, tetapi juga pada pelestarian ekosistem dan pengelolaan keanekaragaman genetik serta spesies yang ada di Indonesia. Dengan pendekatan yang holistik ini, pemerintah Indonesia berusaha untuk mencapai keseimbangan antara mitigasi perubahan iklim dan perlindungan terhadap sumber daya alam yang sangat penting untuk keberlanjutan masa depan negara.
“Dalam kebijakan IBSAP, kami mengintegrasikan berbagai upaya, termasuk mitigasi perubahan iklim, pelestarian ekosistem, dan pengelolaan keanekaragaman hayati. Dengan demikian, kami bukan hanya bertujuan untuk memperlambat perubahan iklim, tetapi juga menjaga kelangsungan hidup berbagai spesies dan ekosistem yang menjadi dasar dari keberlanjutan alam,” ungkap Badi’ah saat webinar Cengkerama Iklim Ditjen PPI KLH bertajuk “Keanekaragaman Hayati dalam Perubahan Iklim”, yang berlangsung di Jakarta pada Selasa lalu.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dalam IBSAP terdapat gagasan penting mengenai peran konservasi dalam menurunkan emisi gas rumah kaca dan mengoptimalkan pemanfaatan jasa lingkungan. Konservasi, menurut dokumen IBSAP, tidak hanya diarahkan pada spesies tertentu, tetapi mencakup tiga aspek utama, yaitu ekosistem, spesies, dan genetika. Hal ini menjadi semakin penting mengingat adanya payung hukum berupa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 yang memberikan dasar hukum bagi penerapan konservasi di tingkat yang lebih luas.
Badi’ah menekankan bahwa IBSAP harus dijadikan pedoman tidak hanya oleh pemerintah pusat dan daerah, tetapi juga oleh pihak swasta serta seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan keanekaragaman hayati. Untuk itu, penerapan strategi ini akan fokus pada empat area utama: pencegahan deforestasi dan degradasi lahan, pengelolaan ekosistem gambut, peningkatan cadangan karbon, serta pengelolaan hutan yang lestari dan konservasi kawasan perairan.
Dampak perubahan iklim terhadap keanekaragaman hayati di Indonesia telah menunjukkan gejala yang nyata. Salah satu contoh konkret adalah pergeseran populasi teripang di Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Teripang yang dulu dapat ditemukan di kedalaman 3-5 meter pada tahun 2000-2006 kini hanya bisa ditemukan pada kedalaman lebih dari 15-20 meter. Fenomena ini menunjukkan bahwa perubahan iklim telah mempengaruhi kualitas habitat makhluk hidup, yang pada akhirnya berpotensi menyebabkan kepunahan spesies jika suhu global terus meningkat.
“Perubahan iklim sudah mempengaruhi secara langsung ekosistem dan keanekaragaman hayati. Kami sebagai negara dengan kekayaan biodiversitas terbesar di dunia harus merespons hal ini dengan serius dan aktif. Melalui IBSAP, kami ingin memastikan bahwa Indonesia tidak hanya berfokus pada mitigasi perubahan iklim, tetapi juga berupaya melindungi keanekaragaman flora dan fauna yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim,” tegas Badi’ah.
Dengan kebijakan yang lebih terfokus dan strategis ini, Indonesia berharap dapat mengurangi laju kepunahan spesies yang terjadi akibat perubahan iklim dan memastikan bahwa upaya pelestarian keanekaragaman hayati berjalan dengan efektif dan berkelanjutan.