Vietnam Pertimbangkan Pelonggaran Kebijakan Dua Anak Akibat Rendahnya Angka Kelahiran

Sumber: antaranews.com
Beraspirasi – Pemerintah Vietnam melalui Kementerian Kesehatan sedang mempertimbangkan untuk melonggarkan kebijakan pembatasan jumlah anak di tengah rendahnya angka kelahiran di negara tersebut. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap tren penurunan tingkat kesuburan yang semakin mengkhawatirkan dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut laporan yang dirilis oleh Vietnam News Agency pada Senin (3/3), angka kelahiran di Vietnam saat ini termasuk yang terendah di kawasan Asia Tenggara. Kondisi ini mendorong pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan kependudukan yang selama ini diterapkan.
Sebagai upaya untuk mengatasi masalah tersebut, Kementerian Kesehatan Vietnam mengusulkan agar pasangan diberikan kebebasan dalam menentukan jumlah anak yang ingin mereka miliki serta waktu yang mereka anggap tepat untuk memiliki anak. Selain itu, pemerintah juga mulai mempertimbangkan kebijakan untuk menangani disparitas tingkat kelahiran yang terjadi di berbagai wilayah negara itu.
Data yang diperoleh dari Otoritas Populasi Vietnam di bawah naungan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa pada tahun 2024, angka kelahiran di negara tersebut mencapai titik terendah. Tingkat kesuburan total atau total fertility rate (TFR) tercatat hanya sebesar 1,91 anak per wanita. Angka ini menunjukkan tren penurunan selama tiga tahun berturut-turut dan berada di bawah tingkat penggantian (replacement level), yaitu angka yang diperlukan agar populasi tetap stabil tanpa mengalami penurunan.
Saat ini, rata-rata tingkat kelahiran di Vietnam bahkan lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata regional, yang mencapai dua anak per wanita. Kondisi ini menunjukkan bahwa Vietnam sedang menghadapi tantangan serius terkait penurunan populasi dalam jangka panjang.
Jika angka kelahiran terus menurun, Vietnam dapat menghadapi berbagai dampak sosial dan ekonomi, termasuk berkurangnya jumlah tenaga kerja produktif di masa depan. Hal ini juga dapat berujung pada peningkatan rasio ketergantungan, di mana jumlah penduduk usia non-produktif, seperti lansia dan anak-anak, menjadi lebih besar dibandingkan jumlah penduduk usia kerja.
Sebagai perbandingan, beberapa negara lain di Asia, seperti Jepang dan Korea Selatan, telah lebih dulu mengalami permasalahan serupa akibat rendahnya angka kelahiran. Negara-negara tersebut kini tengah berjuang untuk meningkatkan angka kesuburan melalui berbagai kebijakan, seperti insentif finansial bagi pasangan yang memiliki anak, perpanjangan cuti melahirkan, serta penyediaan fasilitas penitipan anak yang lebih baik.
Vietnam tampaknya mulai belajar dari pengalaman negara-negara tersebut dan berupaya mengambil langkah lebih awal untuk mengatasi masalah ini sebelum dampaknya semakin meluas. Jika kebijakan pembatasan jumlah anak benar-benar dilonggarkan, diharapkan lebih banyak pasangan akan merasa lebih bebas dalam merencanakan keluarga mereka, sehingga angka kelahiran dapat kembali meningkat.
Namun, meskipun pelonggaran kebijakan bisa menjadi solusi, faktor lain seperti meningkatnya biaya hidup, tekanan ekonomi, serta perubahan gaya hidup dan pola pikir generasi muda juga perlu diperhitungkan. Banyak pasangan muda saat ini lebih memilih menunda pernikahan atau memiliki anak lebih sedikit karena alasan ekonomi dan karier. Oleh karena itu, pemerintah Vietnam mungkin perlu mempertimbangkan langkah-langkah tambahan untuk mendorong pasangan agar lebih yakin dalam memutuskan untuk memiliki anak.
Dengan adanya wacana pelonggaran kebijakan kependudukan ini, Vietnam menunjukkan komitmennya untuk mencari solusi dalam menghadapi tantangan demografi yang dihadapi negara tersebut. Keputusan yang akan diambil nantinya tentu akan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan ekonomi negara dalam jangka panjang.